Salah satu dari delapan Misi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 adalah
mewujudkan Indonesia asri dan lestari. Misi tersebut dijabarkan secara bertahap
dalam periode lima tahunan yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Hal ini sejalan dengan kesepakatan 189 negara
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dalam Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Milenium PBB pada September 2010 menyepakati untuk mengadopsi Deklarasi
Milenium yang kemudian dijabarkan dalam kerangka praktis Tujuan Pembangunan
Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) dimana salah satu dari 8 tujuannya
adalah Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup. MDGs ini memiliki tenggak waktu
(2015) dan indikator kemajuan yang terukur.
Pelestarian Lingkungan
Hidup
Pelestarian lingkungan hidup sangat erat kaitannya dengan mitigasi
bencana. Sesuatu yang akan sangat mudah dilaksanakan jika kita bercermin dari
sekian banyak bencana yang secara berentetan terus mendera negara ini dan tidak
sedikit diantaranya disebabkan oleh kerakusan manusia dalam pengelolaan sumber
daya alam serta pemanfaatan ruang kota dan wilayah.
Berdasarkan letak kota yang sebagian besar notabene berada pada kawasan
pantai dan muara sungai, serta tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
maka kota-kota Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan tentu juga mengalami
ancaman yang sama baik itu dengan Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di
Indonesia yang juga telah “berlangganan” dengan bencana, baik bencana banjir
dan tanah yang amblas maupun fenomena kemacetan serta tingkat emisi gas rumah
kaca yang cukup tinggi. Yang membedakan, mayoritas dari mereka belumlah
terlambat untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan agar bisa terhindar dari
bencana yang lebih mengerikan. Olehnya itu, Pemerintah Daerah diharuskan mampu
melakukan intervensi terhadap pemanfaatan ruang kota dan wilayah serta
penggunaan sumber daya alam yang berlebihan. Intervensi ini merupakan jawaban
dan reaksi terhadap faham liberal yang percaya bahwa mekanisme ekonomi pasar
bebas (free market economy) mampu
mengalokasikan sumber daya secara efisien dan adil. Pada kenyataannya, terjadi
kegagalan pasar terhadap alokasi sumber daya, terutama terhadap barang publik (public goods). Terkait dengan
pemanfaatan ruang kota dan wilayah, sebagian besar ruang pada permukaan bumi
adalah ruang publik. Meski bukan 100% barang publik, akan tetapi pemanfaatannya
akan terkait dengan kepentingan orang lain, maka pemanfaatan ruang kota dan
wilayah senantiasa dapat dikategorikan sebagai barang yang terkait dengan
kepentingan publik. Menurut Sadyohutomo (2008), setiap individu cenderung
berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan barang publik sebagai penumpang gratis
(free rider). Apabila tidak bersikap
seperti itu maka dikatakan sebagai orang tolol yang tidak memanfaatkan peluang (sucker).
Pemanfaatan air tanah secara berlebihan, penebangan pohon tanpa disertai
dengan peremajaan yang sepadan, penataan sistem drainase yang amburadul serta
semakin berkurangnya daerah resapan air merupakan penyebab utama terjadinya
bencana banjir dan tanah yang amblas. Masyarakat yang membutuhkan air bersih
tentu tidak bisa disalahkan sepenuhnya jika memanfaatkan air tanah untuk
memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari jika Pemerintah Daerah belum bisa
menyiapkan suplai air bersih yang memadai. Setidaknya, aturan tata ruang untuk
menyisakan lokasi minimal 30% sebagai area resapan dan terbuka hijau dapat
secara tegas dan terus menerus diterapkan untuk menjaga agar persediaan air
tanah tetap stabil. Memang mahal dan membutuhkan keseriusan serta i’tikad yang
baik, tetapi sangat bermanfaat. Kita bisa bercermin pada kondisi Jakarta,
Semarang dan beberapa kota lain yang telah menyepelekan hal ini pada tahap awal
perkembangan kota mereka.
Krisis Perencanaan
atau Krisis yang direncanakan?
Budihardjo (1993) mengatakan bahwa masalah pokok yang dihadapi kota-kota
di negara berkembang bukanlah semata-mata krisis perencanaan melainkan juga
krisis yang direncanakan. Krisis perencanaan kota sudah jelas hal ihwalnya,
antara lain karena masih langkanya tenaga profesional dalam bidang perencanaan
kota sehingga produk yang dihasilkan pada berbagai daerah cenderung pas-pasan
dan bahkan di bawah standar. Selain itu, tumpang tindihnya berbagai jenis
perencanaan pada daerah yang sama oleh instansi yang berbeda, sehingga
membingungkan aparat pelaksananya. Yang agak sulit dibeberkan dan mungkin sulit
diterima akal sehat adalah adanya krisis kota yang direncanakan. Tapi kenyataan
menunjukkan memang begitulah kenyataan yang terjadi terutama pada kota-kota di
Indonesia. Dalam praktek perencanaan kota misalnya, terjadi dikotomi antara
tata guna lahan dan perencanaan transportasi. Dua aspek perkotaan yang
seharusnya terpadu tetapi pada kenyataannya tidak luluh menjadi satu ini,
mengakibatkan timbulnya kantung-kantung aktivitas manusia yang terkucil dan
tidak terlayani jaringan transportasi perkotaan yang memadai. Contoh lain,
sudah diketahui umum bahwa kemacetan lalu lintas di jalan raya terutama sekali
disebabkan oleh kurang adanya sistem transportasi umum. Akan tetapi anehnya,
yang selalu dibangun adalah jalan layang, jalur lingkar serta perluasan jalan
yang memancing semakin banyaknya penggunaan kendaraan pribadi. Seharusnya yang
perlu dipikirkan adalah perbaikan atau pengadaan sistem transportasi umum yang
aman dan nyaman serta mampu mengangkut penumpang secara massal sehingga beban
jalan raya akan berkurang dan biaya transport, baik untuk manusia maupun arus
pemasukan barang dan jasa, akan menjadi lebih murah.
Semakin meningkatnya pengunaan
kendaraan pribadi selain akan menimbulkan kemacetan tentu juga akan
meningkatkan emisi karbon dioksida yang dilepas ke angkasa. Lapisan ozon akan
semakin menipis. Ancaman pemanasan
global bukan hal yang main-main.
Kita
belum terlambat. Mungkin sekaranglah saatnya Pemerintah Daerah
memikirkan untuk mulai membuat perencanaan terpadu antara beberapa dinas
terkait dalam hal perencanaan kota dan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya
agar generasi kita kelak tidak akan pernah menyesal telah terlahir sebagai
putra dan putri daerah ini.