Rabu, 31 Agustus 2016

THE RAINBOWS


Langit baru saja menghentikan aktivitasnya membasahi bumi. Sesegera mungkin aku melangkahkan kaki keluar dari kungkungan dinding kamar asrama mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di kota lumpia, tempat aku menuntut ilmu untuk meraih gelar magister di bidang perumahan permukiman (yang Insya Allah akan membanggakan orang tua, mertua, istri dan anak-anakku di kampung… hehehehe…). Sesampai di halaman asrama, mataku menatap kaki langit mencari sesuatu yang telah begitu lama kurindukan. Sesuatu yang begitu indah, yang dimasa kecilku sering kunikmati dengan nyaman dikala guyuran air langit berganti semburat panas sang dewa surya. Lengkungan warna penuh pesona pertanda kuasa Sang Maha Pencipta seolah enggan memperlihatkan diri lagi. Pelangi telah begitu lama tak lagi kunikmati keindahannya…(atau aku selalu berada pada tempat dan waktu yang salah ???...), biasan cahaya indah itu kini hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur si buyung tentang bidadari yang turun ke bumi untuk sekedar berendam di telaga indah….
Sampai kapan tangga bidadari itu akan menyembunyikan diri??? apakah panas kota serta pongahnya penghuninya telah mengalahkan kelembutan dan keindahan mereka??. Sebuah tanya yang mungkin akan enggan untuk kita jawab…
Hari ini kembali aku mengeluh, takut ketika suatu saat di esok hari kedua pangeranku tiba-tiba bertanya, kemana tangga indah berwarna-warni yang sering ayah ceritakan??? Malu ketika suatu waktu nanti mereka ingin naik ke surga tempat bidadari-bidadari itu bertahta sementara tangganya sudah lenyap ditelan kerakusan pendahulu mereka…
Hari ini kembali aku hanya bisa menerawang, menghayalkan sesuatu yang bukan tidak mungkin akan kembali kunikmati di hari-hari depan, sesuatu yang kedua pangeranku akan duduk mengapitku disaat aku menceritakan bahwa tangga itu pernah bersembunyi untuk waktu yang sangat lama, sesuatu disaat aku berpesan kepada mereka untuk menjaga tangga itu agar tetap ada dan dapat dinikmati oleh pangeran-pangeran selanjutnya setelah mereka….SEMOGA…
Share

Selasa, 30 Agustus 2016

TAK TERDUGA



        Dalam suatu kesempatan beberapa minggu yang lalu saat melakukan perjalanan ke ibu kota negara ini, secara tidak sengaja saya bertemu dengan seorang perempuan tangguh yang pernah ikut bertarung  dalam kancah perpolitikan di Kabupaten Bulukumba. 
Beliau masih dengan tampilan lamanya yang pernah saya kenal... sederhana...anggun...dan bersahaja.
Senyum yang tak pernah lepas, guyonan ala aktivis disertai tawa lepas membahana membuat saya ikut bisa merasakan betapa tiada beban yang bisa membuat beliau terpuruk.

Pertemuan kami layaknya pertemuan seorang adik dengan kakaknya...
Diskusi lepas yang tak disertai tendensi apapun mewarnai acara makan malam kami saat itu. 
Betul-betul tanpa terbungkus kepentingan....
Meski sebagai adik, tentu saya punya kepentingan tersembunyi..hahahahaha...
Iya... saya mau belajar... mau berguru ke Beliau...
Belajar tentang pola pengembangan kapasitas diri yang Beliau miliki...
Belajar tentang manajemen hati yang sangat Beliau pahami...

Belajar tentang banyak hal....mencoba meraup sebanyak mungkin hal-hal positif yang beliau miliki.
         
Pertemuan memang akan selalu diakhiri dengan perpisahan...
Demikian juga dengan cerita indah malam itu....
Kami berpisah dengan diiringi keyakinan bahwa hari-hari esok akan jauh lebih baik dari apa yang telah terjadi dan mewarnai perjalanan hidup kami...



Share

(Masih Dalam) MIMPI...

Bulukumba itu hebat? Itu pasti...
Tak seorangpun bisa mengingkarinya apalagi jika itu dikaitkan dengan sumber daya yg dimiliki. Tapi kehebatan itu seakan percuma jika semua potensi yg ada tak juga dikelola secara maksimal. Bulukumba punya pantai dengan pasir putih dan deretan karang yang indah.. Bulukumba pun punya gunung menghijau yg berdiri kokoh laksana tumpukan zamrud yg menunggu elusan tangan penguasa dan pengusaha.

Bulukumba itu keren..? Itu juga pasti...
Apalagi jika semua akses pariwisata itu terkoneksi dalam satu jaringan yang berhubungan erat dan saling menunjang antara satu dengan yang lain.
Terbayang dalam angan, bagaimana geliat ekonomi mikro pada jalur-jalur pariwisata yg akan merubah pola pertumbuhan ekonomi konsumtif menjadi ekonomi kerakyatan berbasis kemandirian masyarakat.
Terlihat jelas dalam mimpi, suatu saat kami yang mau menikmati kelembutan pasir putih pantai tanjung bira tak perlu lagi membayar biaya tiket masuk, dimana Pemerintah Daerah hanya terfokus pada penarikan pajak bagi pengusaha besar yang membuat usaha dalam kawasan itu untuk pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah.
Sementara mereka yang membutuhkan dan ingin menikmati  segarnya udara di kawasan pegunungan  kahayya tak lagi terhambat keinginannya oleh berat medan yg harus dilalui... kahayya yg diisi oleh deretan vila dan resort yg tertata dengan rapi... kahayya yg ditata dengan tetap mengedepankan konsep sustainable development....

Bulukumba bisa berjaya..? 
InsyaAllah itu pasti...
Share

Senin, 29 Agustus 2016

KRISIS KOTA YANG DIRENCANAKAN


Salah satu dari delapan Misi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 adalah mewujudkan Indonesia asri dan lestari. Misi tersebut dijabarkan secara bertahap dalam periode lima tahunan yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Hal ini sejalan dengan kesepakatan 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB pada September 2010 menyepakati untuk mengadopsi Deklarasi Milenium yang kemudian dijabarkan dalam kerangka praktis Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) dimana salah satu dari 8 tujuannya adalah Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup. MDGs ini memiliki tenggak waktu (2015) dan indikator kemajuan yang terukur.
Pelestarian Lingkungan Hidup
Pelestarian lingkungan hidup sangat erat kaitannya dengan mitigasi bencana. Sesuatu yang akan sangat mudah dilaksanakan jika kita bercermin dari sekian banyak bencana yang secara berentetan terus mendera negara ini dan tidak sedikit diantaranya disebabkan oleh kerakusan manusia dalam pengelolaan sumber daya alam serta pemanfaatan ruang kota dan wilayah.
Berdasarkan letak kota yang sebagian besar notabene berada pada kawasan pantai dan muara sungai, serta tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, maka kota-kota Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan tentu juga mengalami ancaman yang sama baik itu dengan Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia yang juga telah “berlangganan” dengan bencana, baik bencana banjir dan tanah yang amblas maupun fenomena kemacetan serta tingkat emisi gas rumah kaca yang cukup tinggi. Yang membedakan, mayoritas dari mereka belumlah terlambat untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan agar bisa terhindar dari bencana yang lebih mengerikan. Olehnya itu, Pemerintah Daerah diharuskan mampu melakukan intervensi terhadap pemanfaatan ruang kota dan wilayah serta penggunaan sumber daya alam yang berlebihan. Intervensi ini merupakan jawaban dan reaksi terhadap faham liberal yang percaya bahwa mekanisme ekonomi pasar bebas (free market economy) mampu mengalokasikan sumber daya secara efisien dan adil. Pada kenyataannya, terjadi kegagalan pasar terhadap alokasi sumber daya, terutama terhadap barang publik (public goods). Terkait dengan pemanfaatan ruang kota dan wilayah, sebagian besar ruang pada permukaan bumi adalah ruang publik. Meski bukan 100% barang publik, akan tetapi pemanfaatannya akan terkait dengan kepentingan orang lain, maka pemanfaatan ruang kota dan wilayah senantiasa dapat dikategorikan sebagai barang yang terkait dengan kepentingan publik. Menurut Sadyohutomo (2008), setiap individu cenderung berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan barang publik sebagai penumpang gratis (free rider). Apabila tidak bersikap seperti itu maka dikatakan sebagai orang tolol yang tidak memanfaatkan peluang (sucker).
 
Pemanfaatan air tanah secara berlebihan, penebangan pohon tanpa disertai dengan peremajaan yang sepadan, penataan sistem drainase yang amburadul serta semakin berkurangnya daerah resapan air merupakan penyebab utama terjadinya bencana banjir dan tanah yang amblas. Masyarakat yang membutuhkan air bersih tentu tidak bisa disalahkan sepenuhnya jika memanfaatkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari jika Pemerintah Daerah belum bisa menyiapkan suplai air bersih yang memadai. Setidaknya, aturan tata ruang untuk menyisakan lokasi minimal 30% sebagai area resapan dan terbuka hijau dapat secara tegas dan terus menerus diterapkan untuk menjaga agar persediaan air tanah tetap stabil. Memang mahal dan membutuhkan keseriusan serta i’tikad yang baik, tetapi sangat bermanfaat. Kita bisa bercermin pada kondisi Jakarta, Semarang dan beberapa kota lain yang telah menyepelekan hal ini pada tahap awal perkembangan kota mereka.
Krisis Perencanaan atau Krisis yang direncanakan?
Budihardjo (1993) mengatakan bahwa masalah pokok yang dihadapi kota-kota di negara berkembang bukanlah semata-mata krisis perencanaan melainkan juga krisis yang direncanakan. Krisis perencanaan kota sudah jelas hal ihwalnya, antara lain karena masih langkanya tenaga profesional dalam bidang perencanaan kota sehingga produk yang dihasilkan pada berbagai daerah cenderung pas-pasan dan bahkan di bawah standar. Selain itu, tumpang tindihnya berbagai jenis perencanaan pada daerah yang sama oleh instansi yang berbeda, sehingga membingungkan aparat pelaksananya. Yang agak sulit dibeberkan dan mungkin sulit diterima akal sehat adalah adanya krisis kota yang direncanakan. Tapi kenyataan menunjukkan memang begitulah kenyataan yang terjadi terutama pada kota-kota di Indonesia. Dalam praktek perencanaan kota misalnya, terjadi dikotomi antara tata guna lahan dan perencanaan transportasi. Dua aspek perkotaan yang seharusnya terpadu tetapi pada kenyataannya tidak luluh menjadi satu ini, mengakibatkan timbulnya kantung-kantung aktivitas manusia yang terkucil dan tidak terlayani jaringan transportasi perkotaan yang memadai. Contoh lain, sudah diketahui umum bahwa kemacetan lalu lintas di jalan raya terutama sekali disebabkan oleh kurang adanya sistem transportasi umum. Akan tetapi anehnya, yang selalu dibangun adalah jalan layang, jalur lingkar serta perluasan jalan yang memancing semakin banyaknya penggunaan kendaraan pribadi. Seharusnya yang perlu dipikirkan adalah perbaikan atau pengadaan sistem transportasi umum yang aman dan nyaman serta mampu mengangkut penumpang secara massal sehingga beban jalan raya akan berkurang dan biaya transport, baik untuk manusia maupun arus pemasukan barang dan jasa, akan menjadi lebih murah.
   Semakin meningkatnya pengunaan kendaraan pribadi selain akan menimbulkan kemacetan tentu juga akan meningkatkan emisi karbon dioksida yang dilepas ke angkasa. Lapisan ozon akan semakin menipis.  Ancaman pemanasan global bukan hal yang main-main.
Kita  belum terlambat. Mungkin sekaranglah saatnya Pemerintah Daerah memikirkan untuk mulai membuat perencanaan terpadu antara beberapa dinas terkait dalam hal perencanaan kota dan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya agar generasi kita kelak tidak akan pernah menyesal telah terlahir sebagai putra dan putri daerah ini.
Share