Kamis, 29 September 2016

Banjir Lagi... Banjir Lagi...



Akhir-akhir ini konsentrasi pemberitaan di media massa terbagi antara berita tentang Pilkada langsung di DKI Jakarta, proses pengadilan kasus Kopi Mirna yang tak kunjung selesai, dan yang terbaru adalah bencana banjir yang melanda beberapa daerah di Indonesia.

Bencana banjir, terutama dalam bentuk banjir bandang,  banjir kiriman, banjir rob, maupun banjir akibat genangan air hujan telah menjelma menjadi rutinitas yang setiap tahun harus dihadapi oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat (bencana banjir akibat tsunami untuk sementara kita kesampingkan dulu dalam pembahasan ini). Berbagai konsep telah ditawarkan oleh para ahli, akan tetapi semua konsep itu terkadang terbentur oleh unsur “kepentingan” dan “kesadaran”, sehingga sangat sulit untuk diterapkan. Maka bencana banjir kemudian akan menjadi anugerah dan komoditi yang sangat menguntungkan bagi beberapa pihak, apalagi jika bencana itu kemudian terekspos dengan luas di media massa. Masyarakat di daerah langganan banjir akan “senang” jika banjir itu datang karena dapat dipastikan bantuan akan segera mengalir dengan deras. Apalagi jika banjir terjadi pada masa-masa kampanye pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan anggota legislatif, bencana ini akan berubah menjadi ajang pencitraan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Bencana banjir yang terjadi pasti akan segera diikuti oleh banjir-banjir yang lain, seperti misalnya banjir mie instant, banjir beras, banjir pakaian bekas, banjir amplop dan beragam banjir yang lain. Mereka seakan tidak mau tahu kalau kerugian akibat banjir jauh lebih banyak daripada keuntungan yang mereka dapatkan.

Hal seperti ini kemudian menimbulkan kesan bahwa bencana banjir memang seperti “dipelihara” dan “diinginkan” untuk tetap terjadi dan menjadi agenda rutin setiap tahun. Mengapa  sangat sulit merelokasi mereka yang tinggal di daerah rawan banjir? Dan mengapa begitu sulit merencanakan infrastruktur pengendalian banjir??  Meskipun pada hakekatnya segala bentuk bencana itu sudah diatur oleh yang Maha Mengatur, tetapi bukankah semua bencana entah itu dalam konteks ujian, peringatan, atau bahkan azab adalah akibat dari tingkah laku manusia yang terlalu mengedepankan kepentingan pribadi dan tak peduli dengan larangan Nya..?? 

Tetapi di luar semua itu, mari kita kesampingkan faktor-faktor “x” yang membuat banjir seolah menjadi abadi di negara ini. Saya ingin mengajak pembaca untuk sedikit menyimak bagaimana sih sebenarnya konsep pengendalian banjir yang bisa dilakukan dan diterapkan oleh seluruh stakeholders yang terkait di dalamnya.

Ada satu pertanyaan yang sebenarnya sudah jelas jawabannya akan tetapi sampai hari ini pertanyaan tersebut  masih terus berulang. “Mengapa kita selalu dikagetkan oleh banjir dan tidak sempat melakukan antisipasi..??”. Jawabannya jelas karena kita tidak memiliki Early Warning System (EWS) atau sebuah sistem yang bisa memberikan peringatan dini akan datangnya bencana. Berbeda dengan bencana tsunami yang sistem peringatan dininya berupa raungan sirine begitu terjadi gempa di bawah permukaan laut dan berpotensi tsunami, EWS untuk banjir akibat genangan air hujan, banjir bandang, banjir kiriman dan banjir rob lebih berupa tindakan antisipatif yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan tekhnologi yang saat ini semakin berkembang dengan pesat. Pada tulisan ini saya akan mencoba memberikan gambaran mengenai dua dari beberapa aplikasi yang bisa dikembangkan oleh pemerintah daerah untuk mengantisipasi serangan banjir yang dengan tiba-tiba bisa datang dan merusak semua yang ada.

Yang pertama adalah aplikasi Geografic Information System (GIS).  GIS adalah aplikasi pengolahan data spatial dengan menggunakan sistem komputerisasi dengan menggabungkan antara data grafis dengan data atribut obyek menggunakan peta dasar digital (basic map) bergeoferensi bumi. Dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS) yang dipadukan dengan foto citra satelit beresolusi tinggi maka bisa didapatkan data dengan format raster, vektor, dan titik koordinat yang bisa dibagi ke dalam beberapa layer sesuai kebutuhan. Keseluruhan data ini kemudian dapat diintegrasikan dengan tujuan yang diinginkan. Misalnya menentukan titik-titik dimana terjadi curah hujan dengan intensitas yang tinggi secara berulang serta memetakan kawasan rawan banjir.

Yang kedua adalah Aplikasi Global Mapper. Program ini pada dasarnya hampir sama dengan sistem kerja program GIS, cuma terdapat beberapa kelebihan yang bisa dimanfaatkan untuk beberapa hal tertentu. Kelebihan program ini adalah kemampuannya menampilkan gambaran tiga dimensi dan prediksi kondisi yang ingin diketahui secara akurat. Selain dibutuhkan foto citra satelit dan GPS, untuk memperoleh hasil yang maksimal dari aplikasi ini juga dibutuhkan data Digital Elevation Models (DEM) yang merupakan data digital perbedaan ketinggian rupa bumi. Terkait dengan pengendalian banjir, secara sederhana dapat digambarkan bahwa aplikasi ini mampu menghitung secara akurat penambahan volume air sungai dan kemunculan potensi terciptanya area genangan serta sungai-sungai baru dan menampilkannya dalam format 3 dimensi dengan hanya memasukkan data curah hujan yang terjadi. Dengan diketahuinya berapa volume air yang akan lewat, maka dapat dilakukan antisipasi dengan membandingkannya dengan daya tampung sungai yang ada. Aplikasi ini juga dapat digunakan untuk melakukan rekayasa perubahan ketinggian permukaan air laut untuk mengetahui daerah-daerah mana saja yang berpotensi tenggelam jika terjadi permukaan air laut naik pada ketinggian tertentu.       
       
Berdasarkan data-data yang didapatkan melalui aplikasi di atas, maka hal yang dilakukan selanjutnya adalah melakukan perencanaan pembangunan infrastruktur pengendali banjir. 

Gambar di samping merupakan ilustrasi tentang pengaruh kondisi permukaan tanah terhadap persentase kecepatan aliran runoff (aliran air di permukaan tanah) dan serapan air ke dalam tanah. Dapat terlihat bahwa semakin banyaknya bangunan dan berkurangnya semak dan pepohanan akan semakin mempercepat aliran runoff yang berpotensi besar menimbulkan banjir. Naiknya kecepatan runoff ini akan berbanding lurus dengan semakin berkurangnya air permukaan yang bisa meresap ke dalam tanah dan mengakibatkan tingginya potensi kekeringan dan kesulitan air bersih di musim kemarau.

Pengendalian banjir dapat dilakukan dengan melakukan pengendalian terhadap aliran runoff, penataan drainase perkotaan, pembuatan waduk, pengendalian banjir dengan sistem polder dan beberapa cara lain dengan memanfaatkan data-data digital hasil rekayasa 3 dimensi dengan menggunakan aplikasi global mapper dan GIS akan kami bahas pada tulisan selanjutnya.

Terima Kasih telah membaca.
Mohon komentar, saran, dan kritik yang membangun.... 
    
Share

Tidak ada komentar: