Pada acara Sosialisasi
dan Workshop Program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) di Taman Cekkeng Nursery, Hari
Rabu tanggal 28 September 2016, Bapak Bupati Bulukumba dalam sambutannya yang
sempat saya kutip mengatakan:
“Mari kita membangun Bulukumba secara
manusiawi. Untuk apa membangun kota yang indah jika rakyat harus dibuat
susah...”
Sebuah statement yang
luar biasa dari seorang pemimpin yang terbebani tuntutan untuk membangun
daerahnya agar bisa setara dengan kabupaten tetangga yang terlanjur terkenal
kemajuan pembangunannya. Meskipun kita tidak bisa memberikan ekspektasi yang
berlebihan, akan tetapi setidaknya ada keinginan luhur dari beliau yang secara
otomatis mewakili keinginan dari seluruh jajaran Pemerintah Daerah Kab.
Bulukumba untuk berbuat sesuatu yang lebih baik untuk seluruh rakyat bulukumba.
Dalam teori penataan
wilayah dan kota, pemukiman kumuh secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi
dua bagian yaitu slum dan squater. Slum adalah daerah yang sifatnya kumuh tidak beraturan yang terdapat
di kota atau perkotaan. Daerah slum adalah
kawasan yang secara legalitas diakui keberadaannya oleh pemerintah akan tetapi
pada umumnya dihuni oleh orang-orang yang memiliki penghasilan sangat rendah,
terbelakang, pendidikan rendah, jorok, dan lain sebagainya, sementara squater yang bisa juga diartikan sebagai
pemukiman liar dapat digambarkan sebagai suatu wilayah hunian yang telah
berkembang tanpa meminta ijin kepada otoritas yang terkait untuk membangun,
merupakan pemukiman yang tidak sah atau semi-legal status, infrastruktur dan
jasa pada umumnya tidak cukup.
Karena pengertian yang
berbeda, maka pola penanganan pun tentu berbeda pula. Pemukiman kumuh tentu
membutuhkan penataan yang terintegrasi baik itu secara fisik/infrastruktur
maupun non fisik. Sementara pemukiman liar yang secara legalitas tidak diakui keberadaannya
selalu melahirkan dilema yang menjadi pilihan sulit bagi pemerintah untuk
memutuskan pola penanganannya. Disatu sisi pemerintah harus melakukan relokasi
karena letaknya biasanya pada kawasan bantaran sungai dan pinggiran rela kereta
api yang berpotensi menimbulkan bencana, akan tetapi di sisi lain semua itu
terhambat faktor kemanusiaan dan keadilan yang merupakan amanat dari Pancasila
dan UUD 1945.
Seperti buah simalakama,
siapa pun pemimpinnya, pasti akan pusing dengan kondisi seperti ini. Kebijakan populer
dan tidak populer menjadi pilihan yang sulit untuk diterapkan. Ini menjadi
beban berat bagi kota-kota yang sejak awal tidak mau peduli dan menjadikan
kebijakan tata ruang hanya sebagai dokumen penggugur kewajiban saja.
Khusus untuk penataan
permukiman kumuh, selama ini pemerintah biasanya terjebak oleh identifikasi
masalah kawasan pada sudut pandang perbaikan fisik (fisically improvement). Karena infrastruktur fisik memang sangat
mudah diidentifikasi dan juga sangat mudah untuk diintervensi guna perbaikan.
Pada saat awal proses pembangunan di Indonesia, pembangunan fisik juga menjadi
target utama perbaikan kualitas kawasan. Baru setelah disadari bahwa
pembangunan fisik tanpa ada dukungan perilaku dan moral yang baik, pembangunan
fisik mulai diikuti oleh konsep pembangunan nonfisik. Perubahan perilaku,
tingkat pendidikan, keterampilan dan wacana pengetahuan menjadi faktor penting
dalam pembangunan.
Terkait dengan pelaksanaan Program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) yang baru saja dicanangkan secara resmi di Kabupaten Bulukumba pada tanggal 28 September 2016, kita tentu berharap agar bukan cuma pembangunan fisik saja yang diperhatikan, akan tetapi pembangunan yang sifatnya nonfisik pun tidak kalah pentingnya demi menjamin keberlangsungan dan keberhasilan program tersebut. Percuma dana besar digelontorkan jika hanya untuk menciptakan perbaikan yang terlihat secara kasat mata dan melahirkan pembangunan yang tidak berkelanjutan, sebab setiap kali perbaikan fisik dilakukan, maka akan muncul permasalahan yang sama di dalam kota. Permbangunan yang berorientasi fisik hanya akan menyelesaikan permasalahan fisik saja sementara permasalahan nonfisik terabaikan.
Selain itu alangkah
arifnya jika penataan dan perbaikan permukiman kumuh baik itu fisik maupun
nonfisik dibarengi dengan langkah-langkah untuk mengantisipasi munculnya
permukiman kumuh dan liar yang baru. Dari beberapa literatur yang penulis baca,
dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya permukiman kumuh dan liar itu
didominasi oleh dua hal antara lain:
- Perkembangan kota yang menarik minat penduduk di sekitarnya untuk mengambil kesempatan memperoleh pekerjaan (formal) dan biasanya lebih banyak pada akses pekerjaan informal.
- Tergesernya petani-petani tradisional oleh kebutuhan lahan untuk industri dan permukiman di wilayah pinggiran kota.
Sudah tepat kiranya jika kemudian pada point ke 3 dari
Program Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memaparkan keinginan untuk membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan agar tercipta pemerataan pembangunan dan mengurangi
tingkat urbanisasi yang terus bertambah dari hari ke hari.
Penataan kawasan agar terbebas dari “kumuh” tentu
membutuhkan beberapa strategi yang bisa mengiringi perbaikan fisik. Berikut penulis
mencoba manyajikan beberapa strategi yang layak dicoba dan disadur dari
beberapa literatur terkait.
- Partisipasi Masyarakat
Kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan lebih
besar terhadap terselenggaranya partisipasi masyarakat (Prasetyo, 1995).
Selanjutnya Prasetyo menyatakan bahwa tanpa asas kebersamaan maka pemerintah
yang mengalami kendala dalam hal kurangnya kemampuan dan dana untuk pembangunan
kota disamping pengendalian pembangunan perumahan liar (squatter) dan upaya
pengelolaan lingkungan (slums), tak mungkin memecahkan sendiri.
- Aksi Sosial
Hampir menyerupai bentuk mobilisasi massa, aksi sosial
bertujuan mengorganisir masyarakat dalam kawasan tertentu agar tertarik untuk
terlibat dalam perubahan kawasan tersebut. Aksi sosial memiliki makna pemilik
kekuasaan (powerful) yang harus aktif mengimprovement orang-orang
dilingkungannya agar bersedia berubah dan pemilik kekuasaan juga bersedia share
kekuasaan dengan orang-orang dilingkungannya tersebut (Checkoway, 1995).
- Advokasi Publik
Strategi intervensi kepada kepentingan publik ini
masih jarang dilakukan. Kecenderungan yang terjadi adalah adokasi yang
diberikan kepada pemilik kekuasaan dan/atau advokasi kepada pemilik modal.
Rakyat yang selama ini menjadi obyek proses pembangunan sering terabaikan dari
pembelaan atas ketidakadilan. Legislatif sebagai wakil rakyat yang seharusnya
memberikan advokasi kepada rakyat, justru berfungsi sebagai alat bagi partai
politik untuk mencapai tujuan kelompok dan memandulkan fungsinya sebagai
pembela kepentingan rakyat. Seharusnya, legislatif aktif melakukan reasearch,
personal contact untuk mencari informasi guna pembelaan pada masyarakat demi
kesejahteraan seluruh masyarakat (Checkoway, 1995).
- Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Pendidikan
Akses terhadap pendidikan di Indonesia sangatlah
rendah, terlebih pada masyarakat dikawasan slums dan squatter yang biasanya kawasan
marjinal perkotaan dan kawasan pedesaan. Indonesia selama inipun merupakan
negara yang sangat terbelakang dalam peningkatan kualitas dan kuantitas
pendidikan. Banyak generasi yang tidak memiliki kesempatan memperoleh
pendidikan yang mereka harapkan. Bahkan ketika program pendidikan dasar 9 tahuh
dicanangkan oleh pemerintahan, masih cukup besar masyarakat yang tidak dapat
memberikan kesempatan kepada warga usia sekolah untuk mendapatkan
pendidikan di sekolah. Kondisi rendahnya akses pada jalur
pendidikan diperparah oleh merebaknya resesi pasca reformasi. Kesulitan ekonomi
yang mendera masyarakat terlebih kalangan bawah, menjadi pemicu makin lemahnya
akses masyarakat pada pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar dan menengah
pertama.
- Peningkatan Pelayanan oleh Pemerintahan Lokal
Ujung tombak pelayanan pemerinatahan dalam konteks
otonomi daerah saat ini terletak pada jajaran pemerinatahan Keluarahan/Desa.
Baru setelah itu pada jajaran pemerintahan tingkat atasnya. Artinya,
profesionalisme aparat pemerinatahan ditingkat bawah menjadi faktor yang perlu
diperhatikan secara seksama. Penulis berasumsi bahwa guna meningkatkan
kemampuan intervensi pemerintah, improvement kelembagaan pada tingkat bawah
dengan empowerment sumber daya manusia dan fasilitas pelayanan pulik perlu
dilakukan sesegera mungkin. Jarang ada masyarakat memenuhi kebutuhan pelayanan
publik oleh pemerinatah, harus bersusah datang ke kabupaten yang berjarak cukup
jauh. Masyarakat akan menganggapnya tidak efisien. Sehingga untuk pelayanan
publik, pemerintah harus berani mem-breakdown kebijakan dan kewenangannya
kepada pemerintahan di tingkat bawah yang memiliki keintiman link dengan
masyarakat.
- Keterlibatan Pemimpin Informal
Didalam masyarakat, dipastikan terdapat tokoh-tokoh yang dianggap
tetua oleh masyarakat di kawasan itu. Tokoh masyarakat ini memiliki ikatan
psikologis yang kuat dengan masyarakat kawasannya sehingga memiliki kemampuan
yang besar untuk mengintervensi masyarakatnya (Kumorotomo, et al., 1995). Oleh
sebab itu, keterlibatan langsung tokoh masyarakat ini akan sangat membantu
keberhasilan pelaksanaan program pengubahan komunitas.
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar