Sabtu, 08 Oktober 2016

Fenomena Timbunan Tanah Putih di Bulukumba

Bagi masyarakat bulukumba, tentu sudah tidak asing lagi jika melihat penimbunan suatu lokasi entah itu untuk perumahan maupun  jalan yang memanfaatkan material timbunan tanah putih sebagai bahan utamanya. Mengapa material tersebut dinamakan tanah putih? mungkin karena sampai hari ini belum ada nama resmi yang disematkan ke material tersebut, dan karena warnanya yang didominasi krem cenderung putih membuat masyarakat lalu kemudian menyebutnya demikian.

Yang kemudian menjadi masalah adalah pemakaian timbunan jenis ini dalam pekerjaan konstruksi jalan terutama pekerjaan lapis perkerasan. Terdapat banyak pertanyaan yang sampai saat ini jawabannya hanya berdasarkan perkiraan bukan hasil penelitian. Apakah "Tanah Putih" ini lebih jelek, sama baiknya, atau bahkan lebih baik dari material sirtu (pasir, tanah, dan batu)...? atau apakah tanah putih bisa dijadikan material Lapis Pondasi Bawah (LPB) atau Lapis Pondasi Atas (LPA) pada pekerjaan aspal..?

Dalam dunia konstruksi jalan, tanah timbunan diklasifikasikan ke dalam dua jenis:

1. Timbunan biasa, adalah timbunan atau urugan yang digunakan untuk pencapaian elevasi akhir subgrade yang disyaratkan dalam gambar perencanaan tanpa maksud khusus lainnya. Timbunan biasa ini juga digunakan untuk penggantian material existing subgrade yang tidak memenuhi syarat.
Bahan timbunan biasa harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
  • Timbunan yang diklasifikasikan sebagai timbunan biasa harus terdiri dari tanah yang disetujui oleh pengawas yang memenuhi syarat untuk digunakan dalam pekerjaan permanen.
  • Bahan yang dipilih tidak termasuk tanah yang plastisitasnya tinggi, yang diklasifikasi sebagai A-7-6 dari persyaratan AASHTO M 145 atau sebagai CH dalam sistim klasifikasi "Unifield atau Casagrande". Sebagai tambahan, urugan ini harus memiliki CBR yang tak kurang dari 6 %, bila diuji dengan AASHTO 193.
  • Tanah yang pengembangannya tinggi yang memiliki nilai aktif lebih besar dari 1,25 bila diuji dengan AASHTO T 258, tidak boleh digunakan sebagai bahan timbunan. Nilai aktif diukur sebagai perbandingan antara Indeks Plastisitas (PI) - (AASHTO T 90) dan presentase ukuran lempung (AASHTO T 88)  
2. Timbunan pilihan, adalah timbunan atau urugan yang digunakan untuk pencapaian elevasi akhir subgrade yang disyaratkan dalam gambar perencanaan dengan maksud khusus lainnya, misalnya untuk mengurangi tebal lapisan pondasi bawah, untuk memperkecil gaya lateral tekanan tanah di belakang dinding penahan tanah talud jalan.   


jenis urugan tanah

Bahan timbunan pilihan harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
  • Timbunan hanya boleh diklasifikasikan sebagai timbunan pilihan bila digunakan pada lokasi atau untuk maksud yang telah ditentukan atau disetujui oleh pengawas.
  • Timbunan yang diklasifikasikan sebagai timbunan pilihan harus terdiri dari bahan tanah berpasir (sandy clay) atau padas yang memenuhi persyaratan dan sebagai tambahan harus memiliki sifat tertentu tergantung dari maksud penggunaannya. Dalam segala hal, seluruh urugan pilihan harus memiliki CBR paling sedikit 10 %, bila diuji sesuai dengan AASHTO T 193.
(disadur dari http://kumpulengineer.blogspot.co.id)


Kalau melihat dari persyaratan-persyaratan di atas, tentu mutlak harus dilakukan penelitian secara mendalam untuk mengetahui kemungkinan bisa atau tidaknya tanah putih menjadi salah satu material yang bisa dimanfaatkan dalam pekerjaan konstruksi jalan. Oleh karena itu kami mohon doa restu dari pembaca agar rencana kami untuk melakukan penelitian ini bisa berjalan lancar sesuai rencana... 

Share

Kamis, 29 September 2016

Banjir Lagi... Banjir Lagi...



Akhir-akhir ini konsentrasi pemberitaan di media massa terbagi antara berita tentang Pilkada langsung di DKI Jakarta, proses pengadilan kasus Kopi Mirna yang tak kunjung selesai, dan yang terbaru adalah bencana banjir yang melanda beberapa daerah di Indonesia.

Bencana banjir, terutama dalam bentuk banjir bandang,  banjir kiriman, banjir rob, maupun banjir akibat genangan air hujan telah menjelma menjadi rutinitas yang setiap tahun harus dihadapi oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat (bencana banjir akibat tsunami untuk sementara kita kesampingkan dulu dalam pembahasan ini). Berbagai konsep telah ditawarkan oleh para ahli, akan tetapi semua konsep itu terkadang terbentur oleh unsur “kepentingan” dan “kesadaran”, sehingga sangat sulit untuk diterapkan. Maka bencana banjir kemudian akan menjadi anugerah dan komoditi yang sangat menguntungkan bagi beberapa pihak, apalagi jika bencana itu kemudian terekspos dengan luas di media massa. Masyarakat di daerah langganan banjir akan “senang” jika banjir itu datang karena dapat dipastikan bantuan akan segera mengalir dengan deras. Apalagi jika banjir terjadi pada masa-masa kampanye pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan anggota legislatif, bencana ini akan berubah menjadi ajang pencitraan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Bencana banjir yang terjadi pasti akan segera diikuti oleh banjir-banjir yang lain, seperti misalnya banjir mie instant, banjir beras, banjir pakaian bekas, banjir amplop dan beragam banjir yang lain. Mereka seakan tidak mau tahu kalau kerugian akibat banjir jauh lebih banyak daripada keuntungan yang mereka dapatkan.

Hal seperti ini kemudian menimbulkan kesan bahwa bencana banjir memang seperti “dipelihara” dan “diinginkan” untuk tetap terjadi dan menjadi agenda rutin setiap tahun. Mengapa  sangat sulit merelokasi mereka yang tinggal di daerah rawan banjir? Dan mengapa begitu sulit merencanakan infrastruktur pengendalian banjir??  Meskipun pada hakekatnya segala bentuk bencana itu sudah diatur oleh yang Maha Mengatur, tetapi bukankah semua bencana entah itu dalam konteks ujian, peringatan, atau bahkan azab adalah akibat dari tingkah laku manusia yang terlalu mengedepankan kepentingan pribadi dan tak peduli dengan larangan Nya..?? 

Tetapi di luar semua itu, mari kita kesampingkan faktor-faktor “x” yang membuat banjir seolah menjadi abadi di negara ini. Saya ingin mengajak pembaca untuk sedikit menyimak bagaimana sih sebenarnya konsep pengendalian banjir yang bisa dilakukan dan diterapkan oleh seluruh stakeholders yang terkait di dalamnya.

Ada satu pertanyaan yang sebenarnya sudah jelas jawabannya akan tetapi sampai hari ini pertanyaan tersebut  masih terus berulang. “Mengapa kita selalu dikagetkan oleh banjir dan tidak sempat melakukan antisipasi..??”. Jawabannya jelas karena kita tidak memiliki Early Warning System (EWS) atau sebuah sistem yang bisa memberikan peringatan dini akan datangnya bencana. Berbeda dengan bencana tsunami yang sistem peringatan dininya berupa raungan sirine begitu terjadi gempa di bawah permukaan laut dan berpotensi tsunami, EWS untuk banjir akibat genangan air hujan, banjir bandang, banjir kiriman dan banjir rob lebih berupa tindakan antisipatif yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan tekhnologi yang saat ini semakin berkembang dengan pesat. Pada tulisan ini saya akan mencoba memberikan gambaran mengenai dua dari beberapa aplikasi yang bisa dikembangkan oleh pemerintah daerah untuk mengantisipasi serangan banjir yang dengan tiba-tiba bisa datang dan merusak semua yang ada.

Yang pertama adalah aplikasi Geografic Information System (GIS).  GIS adalah aplikasi pengolahan data spatial dengan menggunakan sistem komputerisasi dengan menggabungkan antara data grafis dengan data atribut obyek menggunakan peta dasar digital (basic map) bergeoferensi bumi. Dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS) yang dipadukan dengan foto citra satelit beresolusi tinggi maka bisa didapatkan data dengan format raster, vektor, dan titik koordinat yang bisa dibagi ke dalam beberapa layer sesuai kebutuhan. Keseluruhan data ini kemudian dapat diintegrasikan dengan tujuan yang diinginkan. Misalnya menentukan titik-titik dimana terjadi curah hujan dengan intensitas yang tinggi secara berulang serta memetakan kawasan rawan banjir.

Yang kedua adalah Aplikasi Global Mapper. Program ini pada dasarnya hampir sama dengan sistem kerja program GIS, cuma terdapat beberapa kelebihan yang bisa dimanfaatkan untuk beberapa hal tertentu. Kelebihan program ini adalah kemampuannya menampilkan gambaran tiga dimensi dan prediksi kondisi yang ingin diketahui secara akurat. Selain dibutuhkan foto citra satelit dan GPS, untuk memperoleh hasil yang maksimal dari aplikasi ini juga dibutuhkan data Digital Elevation Models (DEM) yang merupakan data digital perbedaan ketinggian rupa bumi. Terkait dengan pengendalian banjir, secara sederhana dapat digambarkan bahwa aplikasi ini mampu menghitung secara akurat penambahan volume air sungai dan kemunculan potensi terciptanya area genangan serta sungai-sungai baru dan menampilkannya dalam format 3 dimensi dengan hanya memasukkan data curah hujan yang terjadi. Dengan diketahuinya berapa volume air yang akan lewat, maka dapat dilakukan antisipasi dengan membandingkannya dengan daya tampung sungai yang ada. Aplikasi ini juga dapat digunakan untuk melakukan rekayasa perubahan ketinggian permukaan air laut untuk mengetahui daerah-daerah mana saja yang berpotensi tenggelam jika terjadi permukaan air laut naik pada ketinggian tertentu.       
       
Berdasarkan data-data yang didapatkan melalui aplikasi di atas, maka hal yang dilakukan selanjutnya adalah melakukan perencanaan pembangunan infrastruktur pengendali banjir. 

Gambar di samping merupakan ilustrasi tentang pengaruh kondisi permukaan tanah terhadap persentase kecepatan aliran runoff (aliran air di permukaan tanah) dan serapan air ke dalam tanah. Dapat terlihat bahwa semakin banyaknya bangunan dan berkurangnya semak dan pepohanan akan semakin mempercepat aliran runoff yang berpotensi besar menimbulkan banjir. Naiknya kecepatan runoff ini akan berbanding lurus dengan semakin berkurangnya air permukaan yang bisa meresap ke dalam tanah dan mengakibatkan tingginya potensi kekeringan dan kesulitan air bersih di musim kemarau.

Pengendalian banjir dapat dilakukan dengan melakukan pengendalian terhadap aliran runoff, penataan drainase perkotaan, pembuatan waduk, pengendalian banjir dengan sistem polder dan beberapa cara lain dengan memanfaatkan data-data digital hasil rekayasa 3 dimensi dengan menggunakan aplikasi global mapper dan GIS akan kami bahas pada tulisan selanjutnya.

Terima Kasih telah membaca.
Mohon komentar, saran, dan kritik yang membangun.... 
    
Share

Pemukiman Kumuh : DITATA atau DIGUSUR...??



Pada acara Sosialisasi dan Workshop Program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) di Taman Cekkeng Nursery, Hari Rabu tanggal 28 September 2016, Bapak Bupati Bulukumba dalam sambutannya yang sempat saya kutip mengatakan: 

“Mari kita membangun Bulukumba secara manusiawi. Untuk apa membangun kota yang indah jika rakyat harus dibuat susah...”

Sebuah statement yang luar biasa dari seorang pemimpin yang terbebani tuntutan untuk membangun daerahnya agar bisa setara dengan kabupaten tetangga yang terlanjur terkenal kemajuan pembangunannya. Meskipun kita tidak bisa memberikan ekspektasi yang berlebihan, akan tetapi setidaknya ada keinginan luhur dari beliau yang secara otomatis mewakili keinginan dari seluruh jajaran Pemerintah Daerah Kab. Bulukumba untuk berbuat sesuatu yang lebih baik untuk seluruh rakyat bulukumba.

Dalam teori penataan wilayah dan kota, pemukiman kumuh secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu slum dan squater. Slum adalah daerah yang sifatnya kumuh tidak beraturan yang terdapat di kota atau perkotaan. Daerah slum adalah kawasan yang secara legalitas diakui keberadaannya oleh pemerintah akan tetapi pada umumnya dihuni oleh orang-orang yang memiliki penghasilan sangat rendah, terbelakang, pendidikan rendah, jorok, dan lain sebagainya, sementara squater yang bisa juga diartikan sebagai pemukiman liar dapat digambarkan sebagai suatu wilayah hunian yang telah berkembang tanpa meminta ijin kepada otoritas yang terkait untuk membangun, merupakan pemukiman yang tidak sah atau semi-legal status, infrastruktur dan jasa pada umumnya tidak cukup.

Karena pengertian yang berbeda, maka pola penanganan pun tentu berbeda pula. Pemukiman kumuh tentu membutuhkan penataan yang terintegrasi baik itu secara fisik/infrastruktur maupun non fisik. Sementara pemukiman liar yang secara legalitas tidak diakui keberadaannya selalu melahirkan dilema yang menjadi pilihan sulit bagi pemerintah untuk memutuskan pola penanganannya. Disatu sisi pemerintah harus melakukan relokasi karena letaknya biasanya pada kawasan bantaran sungai dan pinggiran rela kereta api yang berpotensi menimbulkan bencana, akan tetapi di sisi lain semua itu terhambat faktor kemanusiaan dan keadilan yang merupakan amanat dari Pancasila dan UUD 1945.

Seperti buah simalakama, siapa pun pemimpinnya, pasti akan pusing dengan kondisi seperti ini. Kebijakan populer dan tidak populer menjadi pilihan yang sulit untuk diterapkan. Ini menjadi beban berat bagi kota-kota yang sejak awal tidak mau peduli dan menjadikan kebijakan tata ruang hanya sebagai dokumen penggugur kewajiban saja.

Khusus untuk penataan permukiman kumuh, selama ini pemerintah biasanya terjebak oleh identifikasi masalah kawasan pada sudut pandang perbaikan fisik (fisically improvement). Karena infrastruktur fisik memang sangat mudah diidentifikasi dan juga sangat mudah untuk diintervensi guna perbaikan. Pada saat awal proses pembangunan di Indonesia, pembangunan fisik juga menjadi target utama perbaikan kualitas kawasan. Baru setelah disadari bahwa pembangunan fisik tanpa ada dukungan perilaku dan moral yang baik, pembangunan fisik mulai diikuti oleh konsep pembangunan nonfisik. Perubahan perilaku, tingkat pendidikan, keterampilan dan wacana pengetahuan menjadi faktor penting dalam pembangunan. 

Terkait dengan pelaksanaan Program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) yang baru saja dicanangkan secara resmi di Kabupaten Bulukumba pada tanggal 28 September 2016, kita tentu berharap agar bukan cuma pembangunan fisik saja yang diperhatikan, akan tetapi pembangunan yang sifatnya nonfisik pun tidak kalah pentingnya demi menjamin keberlangsungan dan keberhasilan program tersebut. Percuma dana besar digelontorkan jika hanya untuk menciptakan perbaikan yang terlihat secara kasat mata dan melahirkan pembangunan yang tidak berkelanjutan, sebab setiap kali perbaikan fisik dilakukan, maka akan muncul permasalahan yang sama di dalam kota. Permbangunan yang berorientasi fisik hanya akan menyelesaikan permasalahan fisik saja sementara permasalahan nonfisik terabaikan.

Selain itu alangkah arifnya jika penataan dan perbaikan permukiman kumuh baik itu fisik maupun nonfisik dibarengi dengan langkah-langkah untuk mengantisipasi munculnya permukiman kumuh dan liar yang baru. Dari beberapa literatur yang penulis baca, dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya permukiman kumuh dan liar itu didominasi oleh dua hal antara lain:

  • Perkembangan kota yang menarik minat penduduk di sekitarnya untuk mengambil kesempatan memperoleh pekerjaan (formal) dan biasanya lebih banyak pada akses pekerjaan informal.

  • Tergesernya petani-petani tradisional oleh kebutuhan lahan untuk industri dan permukiman di wilayah pinggiran kota.

Sudah tepat kiranya jika kemudian pada point ke 3 dari Program Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf  Kalla memaparkan keinginan untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan agar tercipta pemerataan pembangunan dan mengurangi tingkat urbanisasi yang terus bertambah dari hari ke hari.
Penataan kawasan agar terbebas dari “kumuh” tentu membutuhkan beberapa strategi yang bisa mengiringi perbaikan fisik. Berikut penulis mencoba manyajikan beberapa strategi yang layak dicoba dan disadur dari beberapa literatur terkait.



  • Partisipasi Masyarakat
Kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan lebih besar terhadap terselenggaranya partisipasi masyarakat (Prasetyo, 1995). Selanjutnya Prasetyo menyatakan bahwa tanpa asas kebersamaan maka pemerintah yang mengalami kendala dalam hal kurangnya kemampuan dan dana untuk pembangunan kota disamping pengendalian pembangunan perumahan liar (squatter) dan upaya pengelolaan lingkungan (slums), tak mungkin memecahkan sendiri.
  • Aksi Sosial
Hampir menyerupai bentuk mobilisasi massa, aksi sosial bertujuan mengorganisir masyarakat dalam kawasan tertentu agar tertarik untuk terlibat dalam perubahan kawasan tersebut. Aksi sosial memiliki makna pemilik kekuasaan (powerful) yang harus aktif mengimprovement orang-orang dilingkungannya agar bersedia berubah dan pemilik kekuasaan juga bersedia share kekuasaan dengan orang-orang dilingkungannya tersebut (Checkoway, 1995).
  • Advokasi Publik
Strategi intervensi kepada kepentingan publik ini masih jarang dilakukan. Kecenderungan yang terjadi adalah adokasi yang diberikan kepada pemilik kekuasaan dan/atau advokasi kepada pemilik modal. Rakyat yang selama ini menjadi obyek proses pembangunan sering terabaikan dari pembelaan atas ketidakadilan. Legislatif sebagai wakil rakyat yang seharusnya memberikan advokasi kepada rakyat, justru berfungsi sebagai alat bagi partai politik untuk mencapai tujuan kelompok dan memandulkan fungsinya sebagai pembela kepentingan rakyat. Seharusnya, legislatif aktif melakukan reasearch, personal contact untuk mencari informasi guna pembelaan pada masyarakat demi kesejahteraan seluruh masyarakat (Checkoway, 1995).
  • Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Pendidikan
Akses terhadap pendidikan di Indonesia sangatlah rendah, terlebih pada masyarakat dikawasan slums dan squatter yang biasanya kawasan marjinal perkotaan dan kawasan pedesaan. Indonesia selama inipun merupakan negara yang sangat terbelakang dalam peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan. Banyak generasi yang tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang mereka harapkan. Bahkan ketika program pendidikan dasar 9 tahuh dicanangkan oleh pemerintahan, masih cukup besar masyarakat yang tidak dapat memberikan kesempatan kepada warga usia sekolah untuk mendapatkan
pendidikan di sekolah. Kondisi rendahnya akses pada jalur pendidikan diperparah oleh merebaknya resesi pasca reformasi. Kesulitan ekonomi yang mendera masyarakat terlebih kalangan bawah, menjadi pemicu makin lemahnya akses masyarakat pada pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar dan menengah pertama.
  • Peningkatan Pelayanan oleh Pemerintahan Lokal
Ujung tombak pelayanan pemerinatahan dalam konteks otonomi daerah saat ini terletak pada jajaran pemerinatahan Keluarahan/Desa. Baru setelah itu pada jajaran pemerintahan tingkat atasnya. Artinya, profesionalisme aparat pemerinatahan ditingkat bawah menjadi faktor yang perlu diperhatikan secara seksama. Penulis berasumsi bahwa guna meningkatkan kemampuan intervensi pemerintah, improvement kelembagaan pada tingkat bawah dengan empowerment sumber daya manusia dan fasilitas pelayanan pulik perlu dilakukan sesegera mungkin. Jarang ada masyarakat memenuhi kebutuhan pelayanan publik oleh pemerinatah, harus bersusah datang ke kabupaten yang berjarak cukup jauh. Masyarakat akan menganggapnya tidak efisien. Sehingga untuk pelayanan publik, pemerintah harus berani mem-breakdown kebijakan dan kewenangannya kepada pemerintahan di tingkat bawah yang memiliki keintiman link dengan masyarakat.
  • Keterlibatan Pemimpin Informal
Didalam masyarakat, dipastikan terdapat tokoh-tokoh yang dianggap tetua oleh masyarakat di kawasan itu. Tokoh masyarakat ini memiliki ikatan psikologis yang kuat dengan masyarakat kawasannya sehingga memiliki kemampuan yang besar untuk mengintervensi masyarakatnya (Kumorotomo, et al., 1995). Oleh sebab itu, keterlibatan langsung tokoh masyarakat ini akan sangat membantu keberhasilan pelaksanaan program pengubahan komunitas.
Share